SEJARAH PUASA RAMADHAN

Terima kasih sebelumnya buat sahabat yang telah memberikan kesan positive pada blog yang telah di publikasikan ini. untuk itu pada kesempatan kali ini penulis mencoba untuk menulis sejarah dari puasa ramadhan sesuai permintaan seorang sahabat yang telah mengirimkan permintaan lewat email. Dari beberapa sumber yang telah dikumpulkan penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut.

Salah satu hadits NABI MUHAMMAD SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah "Islam didirikan atas 5 perkara"
1. Bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya
2. Mendirikan Shalat
3. Menunaikan Zakat
4. Berpuasa di Bulan Ramadhan
5 Melaksanakan Haji bagi yang mampu


Hadits tersebut sangat populer di kalangan muslim karena menjadi tiang atau dasar bagi sendi-sendi syariat ISLAM. Selain karena menjadi tiang, alasan kepopuleran lainnya adalah karena NABI MUHAMMAD SAW menjelaskan rukun-rukun itu ketika malaikat JIBRIL yang menjelma menjadi seorang pemuda menanyakannya.


Kata Ramadhan yang mempunyai asal kata Ramadlan berasal dari akar kata dasar r-m-dl, atau ra-mi-dla yang berarti panas atau panas yang menyengat. Kata itu berkembang –sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab. Dan bisa diartikan menjadi panas atau sangat panas dan bisa juga dimaknai hampir membakar. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumuna, maka itu berarti hari telah menjadi sangat panas. Ar-Ramadlu juga bisa diartikan panas yang diakibatkan sinar matahari. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Ramadlan adalah salah satu nama Allah SWT. Tetapi, penulis merasa pendapat ini lemah karena tidak memiliki argumentasi literal.

Demikianlah istilah bulan Ramadlan diambil dari kalimat ramidla-yarmadlu, yang berarti panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus. Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadlân ini disampaikan oleh Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir Al-Razi [w. 721 H.] dalam kamus Mukhtâru-sh-Shihhah dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri [630-711 H.], yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzur, dalam karya monumentalnya, Lisanu-l-‘Arab.

Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum yang keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Shaa-ma, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain [Al-Syaukani, 1173-1255 H., Fathu-l-Qadir]. Shiyam atau Shaum merupakan qiyam bila ‘amal, yang berarti beribadah tanpa bekerja. Dikatakan tanpa bekerja karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan [harakât], baik gerakan itu berupa: berdiri, berjalan, makan, minum dan sebagainya. Sehingga, Ibnu Durayd –sebagaimana dinukil dalam Al-Âlûsî– mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu itu Shiyâm, sedang ber-puasa. Selain itu, puasa sebagaimana penulis sebutkan di atas berarti ‘menahan’ dari sesuatu pekerjaan. Dan ‘sesuatu’ itu telah ditentukan oleh syariat. Dengan begitu, dalam syariat, puasa memiliki pengertian tersendiri.
Makna puasa yang menahan ini juga terlihat jelas tatkala kita menelusuri sejarah bahasa shiyam atau Shaum.

Ibnu Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan Shaûm sebagai hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara. Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab. Ini cocok dengan keterangan Al-Qur’an, misalnya, pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab cemoohan-cemoohan orang-orang kepadanya, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk ALLAH S.W.T Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini [QS. 19:26]. Puasa yang dimaksud Sayyidah Maryam di situ adalah “menahan untuk tidak bicara.

Di sini, sifat menahan menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhâhir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan dzahir atau fisik. Pantaslah jika NABI MUHAMMAD SAW bersabda bahwa "satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ memperlihatkan kebaikan tertentu adalah puasa".



Melihat keterangan-keterangan Ibnu Mandzur dan Al-Razi tersebut di atas, baik tentang makna Ramadlân maupun puasa, ada indikasi bahwa seolah-olah turunnya syariat puasa, setidaknya, bersamaan waktunya dengan kelahiran bulan Ramadlan. Hal tersebut bisa dibenarkan, tentunya, dikarenakan kedua kata itu memiliki relasi makna yang dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama panas atau kering yang disebabkan berpuasa. 

Muncul pertanyaan, sejak kapan pastinya bulan Ramadlan itu ada dan sejak kapan pastinya puasa Ramadlan disyariatkan, sehingga beliau berdua mengaitkan syariat ini dengan maknanya sebagai panas, kering atau haus? Dan sejak kapan puasa diberlakukan kepada umat manusia? Bagaimana dengan puasa-puasa terdahulu yang dilakukan tidak di bulan Ramadlân? Pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis bahas dengan menelaah kembali ayat Al-Qur’an yang menyangkut syariat untuk melakukan puasa.
Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah
Q.S Al-Baqarah ayat 183 yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Ayat tersebut turun tanpa sebab-sebab tertentu, sebagaimana terjadi pada kebanyakan ayat-ayat ahkam –ayat yang berkenaan dengan hukum, yang turun setelah ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi pada NABI MUHAMMAD SAW atau para sahabat.

Pada ayat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah ini telah disebutkan sebuah informasi yang menyatakan "sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu". 

Ada 2 persoalan pokok pada ayat tersebut yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat “sebagaimana diwajibkan”. Ini menjadi persoalan karena munculnya pertanyaan apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa di bulan Ramadlan, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syari'at berpuasa saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain ?

Pada persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dari Sa’id bin Jabir RA [w. 95 H.], yang cenderung memaknai hukum tasybih [penyerupaan atau penyamaan] itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syariat tersebut, walaupun telah menjadi sejarah serta tidak dilakukan di bulan Ramadlan yang sudah dikenal. Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman ALLAH S.W.T tentang bermacam-macamnya syari'at bagi masing-masing umat manusia, Untuk tiap-tiap umat diantara kamu maksudnya: umat NABI MUHAMMAD SAW dan umat-umat yang sebelumnya, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya ALLAH S.W.T menghendaki niscaya kamu dijadikan-NYA satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-NYA kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada ALLAH lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-NYA kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu [QS. 5:48].

Pendapat kedua lebih terfokus pemahamannya kepada lama hari berpuasa dan bulan diwajibkannya berpuasa. Lebih tepatnya, pendapat kedua ini mengarahkan perhatiannya kepada ayat selanjutnya, pada ayat 184, yang berbunyi, yaitu dalam beberapa hari yang tertentu [ayyâman ma’dûdât]. Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadlan sebagaimana kaum muslimin lakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu. 

Dasar pendapat ini tentu banyaknya riwayat yang menjelaskan tentang hal itu. Antara lain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA [w. 73 H.], sebagaimana oleh Ibnu Katsîr [701-774 H.] dalam tafsirnya, bahwa NABI MUHAMMAD SAW bersabda:

“Puasa bulan Ramadlân telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat sebelum kamu”


Pada pendapat yang kedua ini masih terjadi ikhtilaf [perbedaan], apakah selama beberapa hari yang tertentu [ayyaman ma’dudat] berpuasa yang diwajibkan pada kaum dahulu itu adalah berupa sebulan penuh dalam Ramadlân atau bulan-bulan lainnya ?

Ada 2 pendapat, pertama menyatakan bahwa puasa yang disyariatkan pada umat terdahulu adalah berupa puasa selama 3 hari pada setiap bulan. Abdullah bin ‘Abbas RA [w. 69 H.] mengatakan, Syariat sebelumnya adalah puasa tiga hari setiap bulan, lalu syariat ini di-nasakh dengan syariat yang baru, melalui surat Al-Baqarah ayat 185 [Tafsir Zad-l-Mashir]. Pendapat kedua mengklaim bahwa hari-hari tertentu yang dimaksud adalah bulan Ramadlân itu sendiri. Jadi, pada bulan Ramadhan jugalah umat-umat dahulu diwajibkan berpuasa.

Al-Suday menyatakan bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan. Tetapi, karena mereka merasakan berat, mereka kemudian merubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarir [224-310 H.] secara lebih berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syariat puasa di bulan Ramadhan bagi Nasrani [Tafsir al-Thabari]. Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syariat puasa di bulan Ramadhan, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihabuddin Al-Âlusi [w. 1270 H.], penulis Tafsir Ruh-l-Ma’ani, merupakan klaim mereka bahwa hari itu adalah hari tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di laut Merah.

Perbedaan kedua –dalam menelaah ayat syariat puasa itu– adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud adalah ”orang-orang ahlul kitab”, yaitu mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam [Yahudi dan Nasrani]. Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasrani-lah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad SAW.

Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syariat-syariat puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. "Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”.

Dalam konteks sejarah yang lain, syariat puasa nampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat. Sayyidah ‘Aisyah RA menceritakan seperti yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan Âsyura, walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Puasa di bulan Âsyura masih disyariatkan tetapi berada dalam status sunnah. 

Masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syariat puasa pada umat dahulu. Al-Dlahak, dalam riwayat Ibnu Abi Hatim, mengatakan bahwa puasa pertama kali disyariatkan di zaman NABI NUH AS, dan masih tetap berlangsung hingga zaman NABI MUHAMMAD SAW. Syihabuddin Al-Âlusi [w. 1270 H.], penulis Tafsir Ruh-l-Ma’ani, dengan berdasar hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar itu, lebih percaya bahwa puasa Ramadhan disyariatkan sejak NABI ADAM AS. Al-Zamakhsari [467-538 H.] melalui telaahnya atas asal usul bulan Ramadhan juga menegaskan bahwa puasa adalah amal ibadah yang sudah lama [Ibadah Qadimah ].

Dengan melihat hadits yang diriwayatkan Abdullâh bin Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syari'at yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain –yang semuanya telah penulis singgung di atas, nampak jelas bahwa puasa pada bulan Ramadhan telah disyariatkan kembali kepada manusia, tidak hanya kepada umat MUHAMMAD SAW, setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini lebih bisa diterima karena kemunculan NABI MUHAMMAD SAW adalah meluruskan dan memperkuat kembali syariat-syariat dari ALLAH S.W.T yang sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an telah di tahrif atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Pelurusan dan penguatan syariat pada era ISLAM ini melahirkan dugaan dari para sarjana Barat, bahwa syari'at agama ISLAM tidaklah murni melainkan mengadopsi dari agama-agama sebelumnya. 

Mengenai kata Ramadhan, sebagaimana tersurat dalam hadits NABI MUHAMMAD SAW di atas riwayat Abdullah bin Umar RA– dan juga surat Al-Baqarah ayat 185, penulis merasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadhan. Ketika Al-Qur’an atau Nabi SAW menyebut kata Ramadhan, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif. Artinya, makna dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab.

Dengan demikian, kita bisa memastikan pula bahwa bulan Ramadhan itu ada, setidaknya, sejak syariat puasa diturunkan kepada umat manusia. Karena, makna Ramadhan itu sendiri adalah waktu atau keadaan atau hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga, dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadhan, yaitu saat yang panas, kering dan haus. 

Telah kita ketahui bahwa syariat puasa memang sudah menjadi syariat bagi setiap umat manusia. Dan di antara sekian macam syari'at, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, ALLAH S.W.T telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga, dengan pernyataan Allah SWT itu, Imam al-Qurthubi [627-671 H.] dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa merupakan [komunikasi] rahasia antara hamba dengan ALLAH S.W.T. Itulah, dan sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya IBRAHIM AS, Taurat untuk MUSA AS, Injil untuk ISA AS serta Al-Qur’an untuk NABI MUHAMMAD SAW turun pertama kali pada bulan Ramadhan, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.

Mungkin cuma itu saja yang bisa di uraikan tentang puasa bulan RAMADHAN dan semoga kita selalu dalam lindungan ALLAH S.W.T Aamiin... ^^